Menggugat Pendidikan Kita
Menggugat Pendidikan Kita : Sebuah Refleksi Kritis Untuk
Direnungkan
Kita semua sepakat, bahwa pendidikan itu penting, sehingga semua
kita mau berkorban demi pendidikan. Orang-orang tua bekerja keras mencari uang
agar anak-anaknya bisa sekolah, pemerintah mengeluarkan dana yang tidak sedikit
untuk pendidikan, dan anak-anak pun harus berjuang untuk belajar dan ada yang
harus tinggal jauh dari orang tua.
Di Negara kita, anak-anak sekolah di SD selama 6 tahun, SMP 3 tahun,
SMA 3 tahun, dan ada yang kuliah S1 4-5 tahun. Artinya tak kurang 16 tahun,
bahkan ada yang lebih menghabiskan umur untuk sekolah. Dan sebagian besar dari
kita semua pernah sekolah, juga pernah merasakan senang dan susah. Dulu, kita
belajar dengan giat, tugas dan PR cukuplah berat, dan kita khawatir tidak naik
kelas apalagi sampai tidak tamat.
Pertanyaannya sekarang, apa saja pelajaran yang masih kita ingat?,
Apa kita masih ingat tentang materi pelajaran biologi di SMP?, atau matematika
di SMA?. Serta materi pelajaran sekolah apa yang sampai saat ini masih kita
gunakan? Persamaan kuadrat atau persamaan eksponen? Masalah Kromosom XX atau
Heterozigot?
Faktanya, anak-anak sekolah cukup banyak menghabiskan waktu
seperti kita dulu. Anak-anak belajar hal-hal yang tidak pernah akan digunakan
dalam kehidupannya. Hanya beberapa pelajaran yang relevan dan masih berhubungan
dengan kehidupannya saat dewasa.
Rumus fisika, kimia, matematika, dan pelajaran biologi, geografi,
akuntansi, sosiologi, PPKN, dan lain-lainnya. Itu semua sebagian besar seperti
sejarah saja, artinya kita punya sejarah pernah belajar pelajaran tersebut,
walaupun sekarang kita tidak pernah pakai atau sudah lupa. Malah pelajaran
sejarah sendiri pun menjadi sejarah. :)
Belum lagi pelajaran bahasa Inggris, minimal kita semua telah
belajar bahasa ini selama 6 tahun (SMP dan SMA), ada juga yang sudah mulai
belajar dari SD. Jangankan untuk menulis surat atau artikel dalam bahasa
Inggris, merayu dengan dua kalimat saja kita masih belepotan. :)
Ini bukan karena guru kita dahulu tidak bisa mengajar, malah
pengalaman dan ilmu mereka tak kita ragukan. Namun ada yang salah dalam sistem
pendidikan kita, yang membuat banyak pelajaran sekolah menjadi sejarah saja,
dan ini berlaku di seluruh Indonesia, bukan hanya di daerah kita.
Kita sekolah lebih 16 tahun lamanya, terkesan itu seperti sia-sia.
Malah yang lebih menyedihkan lagi, pendidikan kita merupakan mesin pencetak
pengangguran.
Padahal untuk pendidikan anaknya, orang tua di kampung-kampung
menjual tanah, ternak atau harta lainnya, dan ada yang berhutang pada siapa
saja, demi memenuhi biaya pendidikan anaknya. Orang tua berharap anaknya akan
mendapat kehidupan yang lebih baik dan sukses, bukan seperti dirinya.
Namun apa yang terjadi, sistem pendidikan kita belum mampu
menawarkan ijazah yang membuat pemiliknya kreatif dan inovatif dalam menghadapi
tantangan jaman. Sistem pendidikan kita masih menawarkan ijazah dengan
kemampuan menjadi pegawai atau karyawan. Sedangkan yang menjadi Bos-nya adalah
orang-orang yang tidak mempedulikan ijazah produk sistem pendidikan kita.
Mereka sukses karena mencari alternatif dan menjadi orang-orang yang kreatif.
------------------
Hakikatnya sekolah-sekolah melahirkan manusia yang terdidik,
manusia-manusia yang akan menghadapi masa depan, dengan segala kompleksitas dan
permasalahannya.
Faktanya, sistem pendididkan hanya memberikan ijazah akademik,
namun tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas
dalam menghadapi hidup dan tantangan masa depan, sistem pendidikan kita hanya
mempersiapkan alumninya sebagai calon pegawai atau karyawan. Sedangkan yang
menjadi Bos-nya adalah orang-orang yang tidak mempedulikan izajah, mereka
adalah orang-orang kreatif dan keluar dari pola pendidikan yang kaku.
Sayangnya, penerimaan pegawai negeri terbatas tiap tahunnya,
sedangkan orang-orang kreatif dan yang berpikir tidak biasa, atau orang-orang
kreatif yang mampu membuka lapangan-lapangan pekerjaan terbatas jumlahnya.
Sehingga para sarjana dan alumni sekolah-sekolah (SMA dan SMK) banyak
menganggur dan tidak mendapat kerja.
Apa masalahnya pada sistem pendidikan kita? Sekolah lama-lama dan
tinggi-tinggi tapi tak dapat kerja, padahal orang-orang tua miskin di
kampung-kampung menyekolahkan anaknya agar bisa hidup baik tidak seperti
dirinya, sehingga menjual apa saja dan membuatnya menjadi lebih merana.
Dilain sisi, pelajaran di sekolah sangat jarang berguna pada
kehidupan anak-anak saat dewasa, pelajaran matematika, fisika, biologi, dan
pelajaran lainnya hanya menjadi sejarah saja, belajar susah payah tapi mereka
tidak tau untuk apa. Setelah mendapat ijazah juga tak mendapatkan kerja.
Anak-anak juga berkorban sangat luar biasa, mereka butuh belaian
kasih sayang orang tua. Setiap menit sangat lah berharga. Namun karena harus
sekolah terpaksa harus berpisah.
Ingatkah kita, mengapa anak-anak pada hari pertama melangkahkan
kaki masuk sekolah anak-anak menangis?
Itu karena anak-anak tau dia akan terpisah dengan orangtuanya dan
tak lagi bisa selalu bersama. Anak-anak perlu selalu belaian cinta dan kasih
sayang orang tua.
Ini pengorbanan yang mahal bagi anak-anak, maka tak adil rasanya
jika pengorbanan ini tidak sebanding dengan apa yang didapatnya dari sistem
pendidikan kita.
Belum lagi, jika jenjang sekolah semakin tinggi. Maka anak-anak
harus pergi untuk sekolah atau kuliah dengan hidup mandiri.
Banyak masalah yang harus ditanggungnya sendiri, mulai masalah
beban belajar yang tinggi, jika sakit harus bangun cari obat sendiri, jika
lapar makan indomi, ingin makan enak saat mimpi atau ada yang undang kenduri.
:)
Artinya, kita semua berkorban untuk mendapatkan pendidikan agar
cerah masa depan, namun lihat sistem pendidikan kita. Apakah telah memberikan
tawaran masa depan yang cerah, atau semakin membuat orang tua resah!
Ini sangat tidak adil bagi masyarakat kita, menteri dan para
politisi menyusun kebijakan pendidikan kita tak sekalipun pernah mengajar di
sekolah-sekolah. Tapi mereka yang menentukan pendidikan kita mau dibawa kemana.
Para menteri dan politisi membahas kebijakan pendidikan di hotel
dan gedung-gedung yang tinggi, tapi anak-anak pergi ke sekolah tanpa alas kaki,
kurikulum yang mereka buat salah tapi guru-guru yang dicaci maki,
dianggap tidak mampu dan tak punya kompetensi. Kurikulum kita selalu berganti
jika ganti menteri, guru-guru di sekolah belum tuntas mempelajari dan
menerapkan kurikulum baru, tiba-tiba keluar lagi kurikulum yang lebih baru,
yang disahkan oleh menteri baru. Sistem pendidikan kita coba-coba tanpa jelas
visi dan orientasinya.
Dipedalaman, guru sejarah harus mengajar geografi, dan guru PPKN
mengajar biologi. Sekolah-sekolah dikota mengejar prestasi, sedangkan
sekolah di kampung dan pedalaman tak terpeduli.
Kita tak perlu lah membandingkan sistem pendidikan kita dengan
sistem pendidikan di Finlandia, walaupun para pejabat pendidikan sering kesana.
Karena pada dasarnya kita berbeda dan kita mampu seperti mereka asalkan
pemangku kebijakan mau membuka mata dan telinga.
Apa yang perlu kita perbaiki? Agar pelajaran-pelajaran di sekolah
lebih berarti. Materi matematika, fisika, geografi, akuntansi dan lainnya tidak
semata-mata menjadi sejarah saja, bahwa kita pernah belajar materi itu tapi
sekarang dipakai lagi dan sudah lupa.
Dan apa yang perlu kita benahi agar sekolah-sekolah dan
universitas tak lagi melahirkan para pencari kerja, yang akhirnya pengangguran
dimana-mana.
------------------
Seperti sudah saya tulis sebelumnya, anak-anak belajar di sekolah
cukuplah lama, tak kurang 16 tahun menghabiskan waktu untuk sekolah. Namun
faktanya, pelajaran di sekolah dulu tak pernah digunakan untuk kehidupannya
saat sudah dewasa, sehingga terkesan kurang bermakna.
Belum lagi, orang-orang tua di kampung-kampung terutama yang
miskin, menyekolahkan anaknya dengan bersusah payah, dengan harapan orang tua
anaknya bisa sukses dan mempunyai masa depan yang cerah. Namun setelah selesai
sekolah/kuliah tak mendapatkan apa-apa dan sulit mencari kerja.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Padahal pelajaran di
sekolah dan di universitas cukup lah susah, tapi tak menjamin masa depan yang
cerah.
Kita memang tak bisa menutup mata, bahwa sistem penerimaan calon
mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Negara ini melalui tes kemampuan
akademik.
Soal-soal SMPTN sangatlah sulit, sehingga anak-anak belajar dengan
giatnya, semua belajar keras agar dapat lulus diperguruan tinggi sesuai
keinginannya.
Setelah semuanya itu selesai, maka pelajaran-pelajaran di sekolah
hanya lah menjadi sejarah. Bagi yang melanjutkan kuliah maka ada beberapa mata
pelajaran yang menjadi dasar pengembangan ilmu selanjutnya. Sedangkan bagi yang
berhenti melanjutkan studi, hanya pelajaran agama lah yang terus mendampingi
perjalanan hidupnya.
Artinya, begitu banyak pelajaran yang kemudian tidak punya makna
apa-apa untuk menunjang kehidupan anak-anak saat dia dewasa.
Seharusnya sistem pendidikan kita bagaimana? Atau apa solusinya?
Kalau kita menyadari bahwa orang-orang yang sukses dalam hidupnya
saat dewasa adalah orang-orang yang berpikir kreatif, bernalar logis,
sistematis dan kritis, memiliki jiwa inovasi, mampu menyelesaikan masalah, dan
tak mudah menyerah.
Lalu mengapa pelajaran-pelajaran di sekolah tidak maksimal
melakukan pendekatan pembelajaran yang menguatkan hal ini. Sekolah-sekolah kita
masih saja menerapkan sistem pendidikan Bihavioris. Masuk ke kelas harus dengan
rapi, duduk diam dan teratur seperti ABRI. Anak-anak menghapal begitu banyak
pelajaran, latihan menjawab soal-soal, memiliki tugas atau PR setiap mata
pelajaran. Padahal, suatu saat mereka tidak pernah gunakan itu semua untuk
hidupnya.
Pada sisi lain, kurikulum kita memang sudah berubah, namun guru di
sekolah terpaksa taat aturan yang semakin susah, mengejar target kurikulum yang
telah ditetapkan, sehingga kreativitas guru hanya sekedar jadi harapan.
Memang kurikulum kita sudah berubah, namun pelaksanaannya
bagaimana? Setiap hari guru matematika, fisika dan kimia mengajar dengan pola
yang sama, menuliskan judul materi pelajaran dipapan, membuat rumus-rumus
kemudian dijelaskan, selanjutnya memberi contoh-contoh soal sebagai panduan,
dan memberikan latihan yang harus dikerjakan. Kebiasaannya, contohnya mudah dan
latihannya sulit, sehingg siswa menjerit. :)
Guru-guru ekonomi, geografi, PPKN, sosiologi, dan sejarah,
mengajar dengan materi dengan metode ceramah. Kemudian meminta anak-anak
menuliskan catatan, agar materi bisa dihapalkan. Setiap ujian tiba, lain yang
siswa hapalkan, lain pula soal yang keluar, :) mungkin terlalu banyak materi
yang harus dikuasai dan tak mampu dihapal semua!
Namun itu dulu, saat kurikulum kita masih menganut faham
Bihaviorsme, dimana anak-anak belajar harus diberi latihan banyak-banyak
(drill), guru mendominasi kelas, pembelajaran satu arah dengan ceramah.
Sekarang pelan-pelan sudah berubah.
Mulai tahun 2004 kurikulum di Indonesia berubah menganut faham
Konstruktivisme, kurikulum ini dinamakan KBK, kemudian berubah nama menjadi kurikulum
2006 (KTSP), dan saat ini berubah lagi menjadi Kurikulum 2013 (K13)
Kurikulum yang menganut faham Konstruktivisme sejak 2004, kemudian
merubah paradigma pembelajaran di sekolah. Guru tidak boleh lagi mengajar hanya
dengan cermah, namun dengan model/pendekatan/strategi pembelajaran yang
bervariasi, anak-anak belajar diajak untuk membangun (meng-konstruk) sendiri
pemahamannya, guru berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi anak-anak
untuk belajar.
Kurikulum ini menjadi kontroversi, banyak yang menentang karena
dianggap merepotkan, serta ada yang menganggap kita belum siap seperti di
negara-negara barat.
Selain itu, pelatihan kurikulum baru tidak merata dan tidak semua
guru mendapatkannya, dan guru yang telah dilatih pun tidak semuanya tuntas
memahaminya, apalagi kurikulum K13 yang tolak-tarik pelaksanaan, Menteri
Pendididkan M. Nuh menggagasnya, kemudian Anis membatalkan, dan Anis pula yang
menerapkannya kembali. Kemudian dilanjutkan oleh menteri selanjutnya.
Dengan kurikulum baru ini, apakah menjadi penyelesaian masalah?
Faktanya belum dan begitu banyak kendala!
Seperti tulisan diawal, pelajaran-pelajaran yang banyak dan padat
belum memberikan makna apa-apa, selain nilai-nilai akademik yang menjadi
targetnya, walaupun sudah mulai memperhatikan keseimbangan ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik siswa, namun masih jauh dari harapan.
Jauh dari itu semua, seharusnya kita terus implementasi dalam
mendorong anak-anak tumbuh kreatif, bernalar logis dan kritis dengan menekan
pada pembelajaran berbasis pemecahan masalah, sehingga anak-anak akan tumbuh
sebagai orang-orang dewasa yang kreatif, inovatif dan tak mudah putus asa.
Nanti suatu saat, anak-anak sudah dewasa, walaupun tidak ingat
atau lupa tentang materi-materi pelajarannya, namun dengan materi-materi itulah
anak-anak dibiasakan berpikir kreatif dan inovatif. Sehingga tidak ada yang
terkesan sia-sia. Karena selain anak-anak kita mampu menguasai materi pelajaran
untuk menghadapi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun juga punya makna
untuk masa dewasanya, sehingga pelajaran tidak menjadi sejarah-sejarah tanpa
makna.
Mengapa membangun jiwa kreatif dan inovatif itu penting?. Karena
pada dasarnya, semua anak-anak tumbuh-besar dengan memiliki kemampuan
kreativitas dan inovasi yang baik.
Lihatlah anak-anak kecil, bermain dengan apa saja. Ranting pohon
dijadikan pistol atau senjata, kotak-kotak kecil bekas makanan dijadikan
mobil-mobilan, dan pasir atau tanah dijadikan tempat lintasan. Anak-anak
membuat bermacam-macam inovasi dalam kehidupan masa kecilnya.
Sayangnya, saat anak masuk sekolah kreativitas dan jiwa inovasi semakin
hari semakin hilang, anak tumbuh menjadi orang-orang yang prosudural, anak-anak
sibuk menghapal macam-macam pelajaran.
Anak-anak diajarkan meniru cara guru menyelesaikan soal-soal atau
permasalahan, sehingga menjadi manusia-manusia peniru dalam penyelesaian
masalah. Lihatlah, guru memberikan contoh soal dan anak-anak menyelesaikan soal
dengan melihat contoh yang sudah dibuat oleh guru. Sehingga jiwa kreatif
anak-anak pelan-pelan hilang dan pudar.
Maka tak heran, jika kelak sudah dewasa dan menjadi pejabat dan
politisi, lebih suka studi banding ke luar negeri. Lebih suka mencontoh
daripada berinovasi sendiri.
Sebagai penutup tulisan ini, sebenarnya kurikulum kita jauh sudah
lebih baik daripada kurikulum 1994 dan sebelumnya, yang masih menganut faham
Bihaviorsme, hanya saja perlu komitmen kita bersama terutama pemangku kebijakan
agar kurikulum yang dikeluarkan tidak kontra produktif dilapangan, dengan
memasang target-target yang membuat anak-anak semakin hilang jiwa kreativitas
dan inovasinya. Sehingga pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dari
pada hasil bukan isapan jempol semata.
Kelak saat anak-anak dewasa, selain memiliki kemampuan akademik
dan intelektual yang baik, namun juga memiliki mental yang kreatif, dan tak
mudah menyerah pada keadaan.
Sehingga kedepan lahir generasi-generasi yang tidak hanya ingin
mencari pekerjaan, namun juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Semoga!
https://youtu.be/YLiG6Dhum6g
menggugat sistem pendidikan
Menggugat Pendidikan Kita
Menggugat Pendidikan Kita : Sebuah Refleksi Kritis Untuk
Direnungkan
Kita semua sepakat, bahwa pendidikan itu penting, sehingga semua
kita mau berkorban demi pendidikan. Orang-orang tua bekerja keras mencari uang
agar anak-anaknya bisa sekolah, pemerintah mengeluarkan dana yang tidak sedikit
untuk pendidikan, dan anak-anak pun harus berjuang untuk belajar dan ada yang
harus tinggal jauh dari orang tua.
Di Negara kita, anak-anak sekolah di SD selama 6 tahun, SMP 3 tahun,
SMA 3 tahun, dan ada yang kuliah S1 4-5 tahun. Artinya tak kurang 16 tahun,
bahkan ada yang lebih menghabiskan umur untuk sekolah. Dan sebagian besar dari
kita semua pernah sekolah, juga pernah merasakan senang dan susah. Dulu, kita
belajar dengan giat, tugas dan PR cukuplah berat, dan kita khawatir tidak naik
kelas apalagi sampai tidak tamat.
Pertanyaannya sekarang, apa saja pelajaran yang masih kita ingat?,
Apa kita masih ingat tentang materi pelajaran biologi di SMP?, atau matematika
di SMA?. Serta materi pelajaran sekolah apa yang sampai saat ini masih kita
gunakan? Persamaan kuadrat atau persamaan eksponen? Masalah Kromosom XX atau
Heterozigot?
Faktanya, anak-anak sekolah cukup banyak menghabiskan waktu
seperti kita dulu. Anak-anak belajar hal-hal yang tidak pernah akan digunakan
dalam kehidupannya. Hanya beberapa pelajaran yang relevan dan masih berhubungan
dengan kehidupannya saat dewasa.
Rumus fisika, kimia, matematika, dan pelajaran biologi, geografi,
akuntansi, sosiologi, PPKN, dan lain-lainnya. Itu semua sebagian besar seperti
sejarah saja, artinya kita punya sejarah pernah belajar pelajaran tersebut,
walaupun sekarang kita tidak pernah pakai atau sudah lupa. Malah pelajaran
sejarah sendiri pun menjadi sejarah. :)
Belum lagi pelajaran bahasa Inggris, minimal kita semua telah
belajar bahasa ini selama 6 tahun (SMP dan SMA), ada juga yang sudah mulai
belajar dari SD. Jangankan untuk menulis surat atau artikel dalam bahasa
Inggris, merayu dengan dua kalimat saja kita masih belepotan. :)
Ini bukan karena guru kita dahulu tidak bisa mengajar, malah
pengalaman dan ilmu mereka tak kita ragukan. Namun ada yang salah dalam sistem
pendidikan kita, yang membuat banyak pelajaran sekolah menjadi sejarah saja,
dan ini berlaku di seluruh Indonesia, bukan hanya di daerah kita.
Kita sekolah lebih 16 tahun lamanya, terkesan itu seperti sia-sia.
Malah yang lebih menyedihkan lagi, pendidikan kita merupakan mesin pencetak
pengangguran.
Padahal untuk pendidikan anaknya, orang tua di kampung-kampung
menjual tanah, ternak atau harta lainnya, dan ada yang berhutang pada siapa
saja, demi memenuhi biaya pendidikan anaknya. Orang tua berharap anaknya akan
mendapat kehidupan yang lebih baik dan sukses, bukan seperti dirinya.
Namun apa yang terjadi, sistem pendidikan kita belum mampu
menawarkan ijazah yang membuat pemiliknya kreatif dan inovatif dalam menghadapi
tantangan jaman. Sistem pendidikan kita masih menawarkan ijazah dengan
kemampuan menjadi pegawai atau karyawan. Sedangkan yang menjadi Bos-nya adalah
orang-orang yang tidak mempedulikan ijazah produk sistem pendidikan kita.
Mereka sukses karena mencari alternatif dan menjadi orang-orang yang kreatif.
------------------
Hakikatnya sekolah-sekolah melahirkan manusia yang terdidik,
manusia-manusia yang akan menghadapi masa depan, dengan segala kompleksitas dan
permasalahannya.
Faktanya, sistem pendididkan hanya memberikan ijazah akademik,
namun tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas
dalam menghadapi hidup dan tantangan masa depan, sistem pendidikan kita hanya
mempersiapkan alumninya sebagai calon pegawai atau karyawan. Sedangkan yang
menjadi Bos-nya adalah orang-orang yang tidak mempedulikan izajah, mereka
adalah orang-orang kreatif dan keluar dari pola pendidikan yang kaku.
Sayangnya, penerimaan pegawai negeri terbatas tiap tahunnya,
sedangkan orang-orang kreatif dan yang berpikir tidak biasa, atau orang-orang
kreatif yang mampu membuka lapangan-lapangan pekerjaan terbatas jumlahnya.
Sehingga para sarjana dan alumni sekolah-sekolah (SMA dan SMK) banyak
menganggur dan tidak mendapat kerja.
Apa masalahnya pada sistem pendidikan kita? Sekolah lama-lama dan
tinggi-tinggi tapi tak dapat kerja, padahal orang-orang tua miskin di
kampung-kampung menyekolahkan anaknya agar bisa hidup baik tidak seperti
dirinya, sehingga menjual apa saja dan membuatnya menjadi lebih merana.
Dilain sisi, pelajaran di sekolah sangat jarang berguna pada
kehidupan anak-anak saat dewasa, pelajaran matematika, fisika, biologi, dan
pelajaran lainnya hanya menjadi sejarah saja, belajar susah payah tapi mereka
tidak tau untuk apa. Setelah mendapat ijazah juga tak mendapatkan kerja.
Anak-anak juga berkorban sangat luar biasa, mereka butuh belaian
kasih sayang orang tua. Setiap menit sangat lah berharga. Namun karena harus
sekolah terpaksa harus berpisah.
Ingatkah kita, mengapa anak-anak pada hari pertama melangkahkan
kaki masuk sekolah anak-anak menangis?
Itu karena anak-anak tau dia akan terpisah dengan orangtuanya dan
tak lagi bisa selalu bersama. Anak-anak perlu selalu belaian cinta dan kasih
sayang orang tua.
Ini pengorbanan yang mahal bagi anak-anak, maka tak adil rasanya
jika pengorbanan ini tidak sebanding dengan apa yang didapatnya dari sistem
pendidikan kita.
Belum lagi, jika jenjang sekolah semakin tinggi. Maka anak-anak
harus pergi untuk sekolah atau kuliah dengan hidup mandiri.
Banyak masalah yang harus ditanggungnya sendiri, mulai masalah
beban belajar yang tinggi, jika sakit harus bangun cari obat sendiri, jika
lapar makan indomi, ingin makan enak saat mimpi atau ada yang undang kenduri.
:)
Artinya, kita semua berkorban untuk mendapatkan pendidikan agar
cerah masa depan, namun lihat sistem pendidikan kita. Apakah telah memberikan
tawaran masa depan yang cerah, atau semakin membuat orang tua resah!
Ini sangat tidak adil bagi masyarakat kita, menteri dan para
politisi menyusun kebijakan pendidikan kita tak sekalipun pernah mengajar di
sekolah-sekolah. Tapi mereka yang menentukan pendidikan kita mau dibawa kemana.
Para menteri dan politisi membahas kebijakan pendidikan di hotel
dan gedung-gedung yang tinggi, tapi anak-anak pergi ke sekolah tanpa alas kaki,
kurikulum yang mereka buat salah tapi guru-guru yang dicaci maki,
dianggap tidak mampu dan tak punya kompetensi. Kurikulum kita selalu berganti
jika ganti menteri, guru-guru di sekolah belum tuntas mempelajari dan
menerapkan kurikulum baru, tiba-tiba keluar lagi kurikulum yang lebih baru,
yang disahkan oleh menteri baru. Sistem pendidikan kita coba-coba tanpa jelas
visi dan orientasinya.
Dipedalaman, guru sejarah harus mengajar geografi, dan guru PPKN
mengajar biologi. Sekolah-sekolah dikota mengejar prestasi, sedangkan
sekolah di kampung dan pedalaman tak terpeduli.
Kita tak perlu lah membandingkan sistem pendidikan kita dengan
sistem pendidikan di Finlandia, walaupun para pejabat pendidikan sering kesana.
Karena pada dasarnya kita berbeda dan kita mampu seperti mereka asalkan
pemangku kebijakan mau membuka mata dan telinga.
Apa yang perlu kita perbaiki? Agar pelajaran-pelajaran di sekolah
lebih berarti. Materi matematika, fisika, geografi, akuntansi dan lainnya tidak
semata-mata menjadi sejarah saja, bahwa kita pernah belajar materi itu tapi
sekarang dipakai lagi dan sudah lupa.
Dan apa yang perlu kita benahi agar sekolah-sekolah dan
universitas tak lagi melahirkan para pencari kerja, yang akhirnya pengangguran
dimana-mana.
------------------
Seperti sudah saya tulis sebelumnya, anak-anak belajar di sekolah
cukuplah lama, tak kurang 16 tahun menghabiskan waktu untuk sekolah. Namun
faktanya, pelajaran di sekolah dulu tak pernah digunakan untuk kehidupannya
saat sudah dewasa, sehingga terkesan kurang bermakna.
Belum lagi, orang-orang tua di kampung-kampung terutama yang
miskin, menyekolahkan anaknya dengan bersusah payah, dengan harapan orang tua
anaknya bisa sukses dan mempunyai masa depan yang cerah. Namun setelah selesai
sekolah/kuliah tak mendapatkan apa-apa dan sulit mencari kerja.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Padahal pelajaran di
sekolah dan di universitas cukup lah susah, tapi tak menjamin masa depan yang
cerah.
Kita memang tak bisa menutup mata, bahwa sistem penerimaan calon
mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Negara ini melalui tes kemampuan
akademik.
Soal-soal SMPTN sangatlah sulit, sehingga anak-anak belajar dengan
giatnya, semua belajar keras agar dapat lulus diperguruan tinggi sesuai
keinginannya.
Setelah semuanya itu selesai, maka pelajaran-pelajaran di sekolah
hanya lah menjadi sejarah. Bagi yang melanjutkan kuliah maka ada beberapa mata
pelajaran yang menjadi dasar pengembangan ilmu selanjutnya. Sedangkan bagi yang
berhenti melanjutkan studi, hanya pelajaran agama lah yang terus mendampingi
perjalanan hidupnya.
Artinya, begitu banyak pelajaran yang kemudian tidak punya makna
apa-apa untuk menunjang kehidupan anak-anak saat dia dewasa.
Seharusnya sistem pendidikan kita bagaimana? Atau apa solusinya?
Kalau kita menyadari bahwa orang-orang yang sukses dalam hidupnya
saat dewasa adalah orang-orang yang berpikir kreatif, bernalar logis,
sistematis dan kritis, memiliki jiwa inovasi, mampu menyelesaikan masalah, dan
tak mudah menyerah.
Lalu mengapa pelajaran-pelajaran di sekolah tidak maksimal
melakukan pendekatan pembelajaran yang menguatkan hal ini. Sekolah-sekolah kita
masih saja menerapkan sistem pendidikan Bihavioris. Masuk ke kelas harus dengan
rapi, duduk diam dan teratur seperti ABRI. Anak-anak menghapal begitu banyak
pelajaran, latihan menjawab soal-soal, memiliki tugas atau PR setiap mata
pelajaran. Padahal, suatu saat mereka tidak pernah gunakan itu semua untuk
hidupnya.
Pada sisi lain, kurikulum kita memang sudah berubah, namun guru di
sekolah terpaksa taat aturan yang semakin susah, mengejar target kurikulum yang
telah ditetapkan, sehingga kreativitas guru hanya sekedar jadi harapan.
Memang kurikulum kita sudah berubah, namun pelaksanaannya
bagaimana? Setiap hari guru matematika, fisika dan kimia mengajar dengan pola
yang sama, menuliskan judul materi pelajaran dipapan, membuat rumus-rumus
kemudian dijelaskan, selanjutnya memberi contoh-contoh soal sebagai panduan,
dan memberikan latihan yang harus dikerjakan. Kebiasaannya, contohnya mudah dan
latihannya sulit, sehingg siswa menjerit. :)
Guru-guru ekonomi, geografi, PPKN, sosiologi, dan sejarah,
mengajar dengan materi dengan metode ceramah. Kemudian meminta anak-anak
menuliskan catatan, agar materi bisa dihapalkan. Setiap ujian tiba, lain yang
siswa hapalkan, lain pula soal yang keluar, :) mungkin terlalu banyak materi
yang harus dikuasai dan tak mampu dihapal semua!
Namun itu dulu, saat kurikulum kita masih menganut faham
Bihaviorsme, dimana anak-anak belajar harus diberi latihan banyak-banyak
(drill), guru mendominasi kelas, pembelajaran satu arah dengan ceramah.
Sekarang pelan-pelan sudah berubah.
Mulai tahun 2004 kurikulum di Indonesia berubah menganut faham
Konstruktivisme, kurikulum ini dinamakan KBK, kemudian berubah nama menjadi kurikulum
2006 (KTSP), dan saat ini berubah lagi menjadi Kurikulum 2013 (K13)
Kurikulum yang menganut faham Konstruktivisme sejak 2004, kemudian
merubah paradigma pembelajaran di sekolah. Guru tidak boleh lagi mengajar hanya
dengan cermah, namun dengan model/pendekatan/strategi pembelajaran yang
bervariasi, anak-anak belajar diajak untuk membangun (meng-konstruk) sendiri
pemahamannya, guru berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi anak-anak
untuk belajar.
Kurikulum ini menjadi kontroversi, banyak yang menentang karena
dianggap merepotkan, serta ada yang menganggap kita belum siap seperti di
negara-negara barat.
Selain itu, pelatihan kurikulum baru tidak merata dan tidak semua
guru mendapatkannya, dan guru yang telah dilatih pun tidak semuanya tuntas
memahaminya, apalagi kurikulum K13 yang tolak-tarik pelaksanaan, Menteri
Pendididkan M. Nuh menggagasnya, kemudian Anis membatalkan, dan Anis pula yang
menerapkannya kembali. Kemudian dilanjutkan oleh menteri selanjutnya.
Dengan kurikulum baru ini, apakah menjadi penyelesaian masalah?
Faktanya belum dan begitu banyak kendala!
Seperti tulisan diawal, pelajaran-pelajaran yang banyak dan padat
belum memberikan makna apa-apa, selain nilai-nilai akademik yang menjadi
targetnya, walaupun sudah mulai memperhatikan keseimbangan ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik siswa, namun masih jauh dari harapan.
Jauh dari itu semua, seharusnya kita terus implementasi dalam
mendorong anak-anak tumbuh kreatif, bernalar logis dan kritis dengan menekan
pada pembelajaran berbasis pemecahan masalah, sehingga anak-anak akan tumbuh
sebagai orang-orang dewasa yang kreatif, inovatif dan tak mudah putus asa.
Nanti suatu saat, anak-anak sudah dewasa, walaupun tidak ingat
atau lupa tentang materi-materi pelajarannya, namun dengan materi-materi itulah
anak-anak dibiasakan berpikir kreatif dan inovatif. Sehingga tidak ada yang
terkesan sia-sia. Karena selain anak-anak kita mampu menguasai materi pelajaran
untuk menghadapi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun juga punya makna
untuk masa dewasanya, sehingga pelajaran tidak menjadi sejarah-sejarah tanpa
makna.
Mengapa membangun jiwa kreatif dan inovatif itu penting?. Karena
pada dasarnya, semua anak-anak tumbuh-besar dengan memiliki kemampuan
kreativitas dan inovasi yang baik.
Lihatlah anak-anak kecil, bermain dengan apa saja. Ranting pohon
dijadikan pistol atau senjata, kotak-kotak kecil bekas makanan dijadikan
mobil-mobilan, dan pasir atau tanah dijadikan tempat lintasan. Anak-anak
membuat bermacam-macam inovasi dalam kehidupan masa kecilnya.
Sayangnya, saat anak masuk sekolah kreativitas dan jiwa inovasi semakin
hari semakin hilang, anak tumbuh menjadi orang-orang yang prosudural, anak-anak
sibuk menghapal macam-macam pelajaran.
Anak-anak diajarkan meniru cara guru menyelesaikan soal-soal atau
permasalahan, sehingga menjadi manusia-manusia peniru dalam penyelesaian
masalah. Lihatlah, guru memberikan contoh soal dan anak-anak menyelesaikan soal
dengan melihat contoh yang sudah dibuat oleh guru. Sehingga jiwa kreatif
anak-anak pelan-pelan hilang dan pudar.
Maka tak heran, jika kelak sudah dewasa dan menjadi pejabat dan
politisi, lebih suka studi banding ke luar negeri. Lebih suka mencontoh
daripada berinovasi sendiri.
Sebagai penutup tulisan ini, sebenarnya kurikulum kita jauh sudah
lebih baik daripada kurikulum 1994 dan sebelumnya, yang masih menganut faham
Bihaviorsme, hanya saja perlu komitmen kita bersama terutama pemangku kebijakan
agar kurikulum yang dikeluarkan tidak kontra produktif dilapangan, dengan
memasang target-target yang membuat anak-anak semakin hilang jiwa kreativitas
dan inovasinya. Sehingga pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dari
pada hasil bukan isapan jempol semata.
Kelak saat anak-anak dewasa, selain memiliki kemampuan akademik
dan intelektual yang baik, namun juga memiliki mental yang kreatif, dan tak
mudah menyerah pada keadaan.
Sehingga kedepan lahir generasi-generasi yang tidak hanya ingin
mencari pekerjaan, namun juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Semoga!
https://youtu.be/YLiG6Dhum6g menggugat sistem pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar